Ketika trend tersebut melanda, batik tidak dikenakan dengan kesadaran – bahwa batik merupakan budaya yang harus dilestarikan dengan cara kita mengenakannya. Batik muncul sebagai trend yang identik dengan konsumsi massa yang berlangsung dalam tempo singkat. Batik pun akhirnya benar-benar numpang lewat, rasanya kita pun sekarang akan jengah saat berjalan-jalan menghabiskan malam minggu dan menemukan orang mengenakan batik, ”mau kemana sih?” Batik pun kembali ke undangan... menjadi bahan sandang yang hanya pantas dikenakan di acara formal.
Cara cerdas mungkin dilakukan oleh seorang perancang mode muda, Lenny Agustine. Pada pertengahan tahun 2008 lalu, Lenny Agustine memproklamasikan keberadaan brand barunya, Lenor. Lenor merupakan suatu karya farshion yang berdaya pakai tinggi dan mampu mencuri perhatian orang-orang. Pola, warna, dan motif yang atraktif berpadu dalam harmonisasi yang diciptakan oleh Lenny.
Lenny mengombinasikan material bermotif geometris yang dipadukan dengan beraneka jenis dan corak kain dari berbagai belahan Indonesia. Songket, batik, dan tenun ikat terlihat menjadi lebih hidup ketika Lenny tabrakkan pada motif garis-garis, segitiga, atau kotak-kotak. Idenya segar, karyanya ini merupakan salah satu jalan untuk menyelamatkan batik untuk tidak benar-benar kembali ke acara undangan semata.
Batik adalah tentang identitas, sejauh mana anda ingin menampilkan apa yang ada dalam diri anda. Apakah anda akan menempatkan batik sebagai korban atau juara, semua bergantung pada pilihan anda... Anda perlu memilih antara hitam atau putih. Sampai kapan batik akan menjadi abu-abu?
Adalah tanggung jawab bangsa ini untuk menjaga dan menunjukan pada dunia:
bahwa batik milik kita dan kita bangga karenanya!
Arya Said,
wew...!!
K.U.E.R.E.N.
Posted on 30 Mei 2009 pukul 01.52